Kaos Sebagai Wujud Modernitas Budaya Berpakaian
Kaos Murah – Masyarakat tradisional memiliki peran sosial dan kode-kode aturan yang relatif baku, sehingga pakaian/kaos murah dan penampilan seseorang secara langsung menunjukkan kelas sosial, profesi, dan statusnya. Identitas dalam masyarakat tradisional biasanya ditentukan oleh kelahiran, pernikahan, serta keahlian, dan daftar peran yang ada dibatasi seketat mungkin.
Pada abad Pertengahan, identitas di Eropa Barat sangat dibatasi, bahkan terdapat aturan tertulis yang mendikte apa yang boleh atau tidak boleh dipakai oleh orang dari kelas yang berbeda. Masyarakat modern menghapus kode-kode pakaian dan fashion yang kaku, dan sejak tahun 1700-an perubahan fashion pakaian dan penampilan mulai berkembang. Meski pasar kapitalis mendikte bahwa hanya kelas-kelas tertentu saja yang mempu membeli pakaian mahal, yang menandakan kekuasaan dan previlise sosial, pasca- Revolusi Perancis, fashion didemokritisasi di negara-negara yang mengalami revolusi demokrasi, sehingga siapapun yang membeli pakaian dan make-up tertentu dapat mengenakan dan menunjukkan apa yang mereka mau.
Pada abad ke-18, filsuf David Hume merumuskan masalah identitas pribadi, tentang apa yang menjadikan diri sejati seseorang, bahkan menyatakan bahwa tidak ada jati diri yang substansial maupun transendental. Isu tersebut menjadi obsesi bagi Rousseau, Kierkegaard, dan banyak orang Eropa lain yang mengalami perubahan cepat, kehancuran tatanan masyarakat tradisional, dan kemunculan modernitas. Termasuk modernitas dalam berpakaian, masyarakat mulai banya menggunakan pakain yang simple namun fashionable seperti kaos murah.
Dalam modernitas, kaos murah merupakan konstituen penting identitas seseorang, yang membantu menentukan bagaimana dia dikenali dan diterima. Kaos murah menawarkan pilihan gaya, dan citra yang dengannya seseorang dapat menciptakan identitas individual. Di satu sisi, kaos murah adalah fitur konstituen modernitas, yang ditafsirkan sebagai era sejarah yang ditandai oleh inovasi terus menerus, penghancuran yang tanda penciptaan yang baru (Berman: 1982). Kaos murah sendiri dianggap sebagai sumber penciptaan citarasa, gaya, pakaian, dan perilaku baru.
Tentu saja, kaos murah dalam masyarakat modern dibatasi oleh kode-kode gender, realitas ekonomi, dan kekuatan konformitas sosial yang terus mendikte apa yang boleh dan tidak boleh dipakai, apa yang mungkin dan tidak mungkin.
Selama periode tahun 1960an budaya media menjadi sumber fashion budaya yang ampuh, dengan memberikan model-model dan tampilan, perilaku, gaya. Bintang rock tahun 1960-an dan 1970-an yang berambut panjang dan berpakaian tak umum, mempengaruhi perubahan gaya rambut, pakaian, dan perilaku, meski perilaku pemberontakan sosial seperti Bob Dylan memproklamirkan bahwa “Waktunya Merdeka Berubah” (The Times They Are A’Canging”). Grup band seperti The Beatles, The Rolling Stones, dan para performer seperti Janis Joplin atau Jimi Hendrix mendukung pemberontakan kontra-budaya dan apriori gaya baru dalam berpakaian, berperilaku, dan bersikap. Pengasosiasian budaya rock dengan rambut panjang, pemberontakan sosial, dan penolakan fashion berlanjut hingga 1970-an, dengan gelombang kesuksesan rock heavy metal, punk, dan new wave yang meraih popularitas mereka.
Program televisi, film, dan musik pop lebih konservatif memberikan model arus utama bagi remaja. Dalam dua dekade terakhir =, orang dari budaya konservatif bereaksi keras terhadap radikalisme dan fashion 1960-an, dan budaya remaja serta kaos murah telah menjadi medan perang antara tradisionalis-konservatif dan kaum radikal budaya yang berusaha menjungkirbalikkan peran gender tradisional, kode-kode fashion, serta nilai dan perilaku. Karena itu, identitas sosial dan kaos murah sendiri merupakan bagian dari proses perjuangan dan konflik sosial antara ideologi dan model yang saling beroposisi. Kaum konservatif memiliki model dan gaya fashion sendiri, demikian juga dengan pemberontak subkultural. Perjuangan politik juga mewarnai perang fashion, sebagaimana pemilu dan debat politik.
This Post Has 0 Comments